Pages

Banner 468 x 60px

 

Senin, 21 Mei 2018

(Part 1) Perjalanan Nekat ke Yogyakarta

0 komentar
Tengah malam, di dalam kereta sebuah perjalanan tanpa rencana menuju Yogyakarta dimulai. Berawal dari obrolan ringan dengan teman saat libur semester, “Liburan gak kemana-mana nih, Yogyakarta yuk!” akhirnya berhasil merayu kami untuk segera membeli tiket kereta menuju kota yang dikenal dengan berbagai julukan; kota pelajar, kota budaya, kota batik, kota seniman, kota gudeg, kota museum, serta city of tolerant. Sebuah keputusan mendadak sebenarnya belum lagi ini pertama kalinya kami berlibur menggunakan kereta api. Tetapi, seakan semesta turut membantu, ternyata sepupu dan sahabat baikku yang berkuliah di Yoygakarta masih berada di sana. Mereka masih mengurusi kegiatan organisasi kampus meski sedang libur semester. Sehingga keyakinan kami untuk berlibur ke Yogyakarta semakin kuat. Ditambah untuk masalah penginapan dan transportasi sepupu dan sahabatku itu menawarkan bantuan, jadi kami tidak perlu khawatir.

Keesokan harinya, tepat dua hari sebelum pemberangkatan, dengan bantuan petugas kami memesan tiket langsung di stasiun perjalanan pulang-pergi dengan rute stasiun Tasikmalaya-Lempuyangan dan Lempuyangan-Tasikmalaya untuk tiga hari dua malam. 6 jam perjalanan kami memutuskan untuk memilih jadwal pemberangkatan terakhir, sekitar pukul 23.00 WIB jadwal tertera dan sampai sekitar pukul 05.00 WIB. Sengaja kami memilih jadwal pemberangkatan terakhir agar pas dengan waktu sholat shubuh dan kami dapat beristirahat sebentar di mushola stasiun sebelum akhirnya sepupu dan sahabatku datang menjemput.

Menanti kedatangan kereta api.

Selama perjalanan kami memutuskan untuk tidur dengan perasaan was-was karena takut stasiun tujuan kami terlewat. Hal itu menyebabkan tidur kami tidak pulas, karena setiap kali pemberitahuan transit di stasiun, kami selalu terbangun. Alhamdulillah, kami berhasil sampai di stasiun Lempuyangan dengan selamat. Dilansir dari situs kabar penumpang Stasiun Lempuyangan memiliki arti nama tanaman umbi-umbian untuk bumbu masakan, ternyata sudah sejak lama menjadi salah satu ikon transportasi di Yogyakarta. Stasiun Lempuyangan ini dulunya merupakan kereta barang, kini terkenal melayani pemberhentian kereta api kelas ekonomi dan kereta lokal atau komuter seperti prambanan ekspres. Tempatnya pun cukup nyaman, ditambah berbagai toko makanan serta minimarket tersedia di sana, toiletnya pun bersih, dan letak mushola dekat hanya perlu belok kiri beberapa meter dari pintu keluar stasiun.


Stasiun Lempuyangan pagi hari. (Sumber: Google)

Setelah memastikan sepupu dan sahabatku akan menjemput, kami lekas mencari mushola untuk menunaikan ibadah sholat shubuh. Selepas sholat shubuh, kami memutuskan untuk beristirahat sejenak di mushola sambil menunggu jemputan. Tempatnya cukup ramai dan sesuai perkiraan ketika kami sampai orang-orang tengah bersiap memulai harinya, menghapus kekhwatiran kami yang mengira akan luntang-lantung di stasiun yang sepi begitu turun dari kereta.

Akhirnya sepupu dan sahabatku datang menjemput. Kami memutuskan untuk makan Soto Ayam Kampung Pak Dalbe di daerah Sudirman, sahabatku bilang soto ini merupakan soto yang sudah terkenal, terbukti sesampainya kami di sana sekitar pukul 06.30 sudah banyak pelanggan yang mengantri. Harganya pun cukup ekonomis, dengan harga Rp 10.000,- kami sudah dapat nasi, bihun, tauge, ayam kampung yang cukup banyak, dan kuah soto yang sangat berciri khas. Sekedar informasi, kalau soto di yogya rata-rata sudah cukup manis, jadi jika terbiasa menambahkan kecap pada soto, ketika makan di Yogyakarta di sarankan tidak perlu.


Soto Ayam Kampung Pak Dalbe (Sumber:Google)

Selepas mengisi perut perjalanan kami dilanjutkan menuju tempat kos sahabatku di daerah Kasihan Bantul. Tempatnya memang cukup jauh sekitar 15 menit dari pusat kota, tapi karena sepupuku yang kos di dekat Universitas Negeri Yogyakarta adalah laki-laki akhirnya kami memutuskan untuk tinggal di tempat kos sahabatku. Sesampainya di sana kami menghabiskan waktu untuk berbenah, membersihkan diri, lalu beristirahat sejenak. Sekitar pukul 10.00 WIB kami berangkat kembali, sepupuku mengajak untuk berjalan-jalan di pusat kota dan kami membuat janji temu di daerah alun-alun Kidul. Berbekal google map dan ingatan saat berangkat menuju tempat kos sahabatku, berangkatlah aku dan temanku ke alun-alun Kidul mengendarai sepeda motor sahabatku yang kebetulan tidak bisa ikut karena ada keperluan di Kampus.

Tiba di sana sekitar pukul 10.30 WIB, sepupuku belum datang. Akhirnya aku dan temanku berkeliling sebentar di daerah alun-alun Kidul karena tempatnya dekat pula dengan Kraton Yogya. Setelah puas berkeliling, tidak lengkap rasanya jika mengunjungi alun-alun Kidul tidak mencoba tantangan melewati dua pohon beringin kembar dengan mata tertutup selembar kain. Tantangan tersebut merupakan mitos terkenal di kalangan wisatawan maupun warga sekitar. Menurut warga sekitar mitos tersebut mengatakan bahwa, jika seseorang yang dapat berhasil melewati dua pohon kembar itu akan segera bertemu dengan jodohnya. Mitos tersebut berasal dari sebuah kisah perjodohan putri sultan. Merasa tidak cocok dengan pria tersebut, putri mengajukan satu syarat, yaitu pria yang ingin melamar putri harus bisa melewati pohon beringin kembar terebut. Namun sayang, beberapa kali mencoba pun kami tidak pernah sampai melewati pohon beringin kembar tersebut. Arah langkah kami selalu jauh dari pohon beringin kembar, yah mungkin jodoh kami pun masih jauh.

Kami mencoba untuk melewati pohon beringin kembar dengan mata tertutup, namun tetap gagal.

Sepupuku pun datang, kami memutuskan untuk berkeliling terlebih dahulu ke Malioboro, Tugu, dan Pasar Beringharjo. Tiga tempat tersebut merupakan tempat yang pasti akan selalu dikunjungi wisatawan ketika pergi ke Yogyakarta. Beberapa orang mengatakan bahwa kurang afdol jika belum pergi ke sana. Malioboro dan Pasar Beringharjo merupakan kebanggaan Yogyakarta serta merupakan surganya belanja. Segala souvenir, sandal, kaos, tas, batik, pernak pernik tradisional hingga modern tersedia di sana, harganya pun cukup terjangkau yah pintar-pintar kita saja untuk menawar harga. Berbicara tentang kenyamanan memang cukup nyaman berbelanja di Malioboro, karena tempat cukup tertata dan berada di pinggir jalan namun masalah harga lebih murah ketika kita berbelanja di Pasar Beringharjo yang merupakan pasar tertua di Yogyakarta. Pasar Beringharjo meski tempatnya cukup sempit dan sesak, namun jika kita cukup teliti, kita akan menemukan barang-barang tradisional lucu hingga antik dengan harga yang cukup murah. Souvenir di Pasar Beringharjo tidak dijual satuan seperti di Malioboro tetapi per lusin, bagi shoppaholic selamat berbelanja.

Waktu yang kami habiskan di Malioboro dan Pasar Beringharjo tidak cukup banyak, karena tujuan utama kami hari itu adalah Taman Sari dan Kampung Cyber. Taman Sari Keraton Yogyakarta atau dikenal sebagai taman air merupakan situs bekas taman atau kebun istana. Kolam-kolam yang tertata dengan arsitektur yang indah serta lorong-lorong bawah tanah misterius yang membuat lupa akan lelahnya perjalanan menyusuri tempat sekitar 10 hektare tersebut. Suara gamelan pun terdengar, menyambut wisatawan. Sangking luasnya mungkin kalian yang berkunjung akan tersesat atau kembali ke tempat yang sama, oleh karena itu jangan lupa meminta peta petunjuk agar tempat-tempat yang ada di taman sari dapat terjelajahi. Harga tiket masuk pun cukup terjangkau hanya Rp 5000,- untuk satu orang, namun jika membawa kamera akan dikenakan biaya tambahan sebesar Rp 2000,-
(Sumber: Google)


Sebagian pemandangan di Taman Sari

Menuju pintu keluar Taman Sari dekat dengan Puing Mesjid Sumur Gumuling, kami langsung menyusuri Kampung Cyber. Kampung kecil yang mendunia karena kunjungan CEO Facebook Mark Zuckerberg. Bukan hanya terkenal dengan seluruh warga yang melek tekonologi dengan seluruh rumah yang terpasang koneksi internet tetapi gambar-bambar yang menghiasi tembok jalan sangat menarik untuk dinimati. Ditambah hampir setiap rumah di sana menjual berbagai macam oleh-oleh khas Yogyakarta yang bahkan kita dapat langsung membuatnya sendiri di sana. Tak terasa waktu sudah semakin larut, selepas sholat ashar sekitar pukul 17.00 WIB kami berpisah.


Jalanan di Kampung Cyber (Sumber : Google)

Kejadian yang tidak mengenakan terjadi, ketika menuju perjalanan pulang. Tiba-tiba akses internet kami mati dan beberapa kali kami berkeliling di tempat yang sama menghubungi sahabatku atau sepupuku pun sepertinya kami tidak menjelaskan di mana keberadaan kami. Akhirnya setalah berhenti sejenak di masjid untuk menunaikan sholat maghrib kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan dengan modal nekat hingga sampai di daerah belakang Universitas Muhammadyah Yogyakarta, namun itu pun masih tersesat. Kami mencoba menghidupkan handphone, alhamdulillah signal internetnya kembali, segera kami hubungi sahabatku dan mampir ke sebuah tempat makan bernama Burjo Motekar. Katanya belum lengkap jika ke Yogyakarta belum ke Burjo Motekar, tempat makan andalan mahasiswa yang tersedia 24 jam dan terdapat banyak cabang di Yogyakarta. Menu-menu murah meriah andalan mahasiswa seperti nasi telur, nasi kornet, nasi saden, dan nasi dengan beragam oseng-oseng lainnya, serta berbagai olahan mie instan berbagai merek dan gorengan yang selalu menghiasi meja depan. Setelah puas makan, akhirnya kami sampai ke tempat kos dan segera beristirahat karena petualangan nekat lainnya sudah menanti esok hari.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Jurnalis Muda © DKP (Mala) - 2018