Pages

Banner 468 x 60px

 

Selasa, 22 Mei 2018

(Part 2) Menanti Fajar dan Berburu Senja di Yogyakarta

0 komentar
Hari kedua perjalanan nekat Yogyakarta dimulai sangat pagi atau bisa dibilang shubuh. Sekitar pukul 04.30 WIB selepas sholat shubuh aku, temanku, sahabatku, dan teman sahabatku berangkat dengan dua motor untuk menanti fajar di Puncak Bukit Kebun Buah Mangunan. Selama perjalanan kami disuguhi pemandangan hijau asri hutan pinus, meski terbilang tempatnya cukup jauh dari jalan utama tapi tetap terjaga. Jalanan aspal yang mulus tanpa lubang membuat perjalanan sekitar 45 menit tidak terasa, hal itu menandakan bahwa pemerintah Yogyakarta sangat menjaga dan melestarika tempat wisata di daerahnya.

Sesampainya di sana, kami lekas menuju spot untuk melihat matahari terbit yang terkenal indah. Sudah banyak dipenuhi pengunjung meski masih sekitar pukul 05.45 WIB. Ternyata tempat tersebut sudah buka dari pukul 04.00 WIB dengan harga tiket Rp 5000,- per orang dan sudah termasuk parkir. Sayang, matahari terbit yang kami harapkan tidak nampak dan ditutupi kabut yang cukup tebal. Meski sedikit kecewa, namun setelah kabut menghilang kami disuguhi pemandangan indah, rumah-rumah dan jalanan kota bantul, aliran sungai Oya yang meliuk elok terlihat jelas. Puas menikmati pemandangan, berkeliling, berfoto dan sarapan kami memutuskan untuk turun menuju Hutan Pinus Imogiri .


 Suasana Puncak Bukit Kebun Buah Mangunan

Hutan Pinus Imogiri atau Hutan Pinus Mangunan letaknya tidak jauh dari Puncak Bukit Kebun Buah Mangunan. Dengan hanya membayar tiker parkir sebesar Rp 3000,- kami dapat menikmati keindangan pohon pinus yang menjulang tinggi dengan jarak setiap pohon yang rapi, membuat siapa pun yang datang ke sana rasanya tidak ingin pergi. Kesejukkan udaranya yang asri serta setiap sudut tempat yang instagenic membuat semua orang terpesona, terasa berada di negeri dongeng, bahkan beberapa pasangan dengan gaun putih panjang terlihat sedang mengadakan foto prewedding. Suasana romantis dan kehangatan keluarga sangat terasa di sana. Selain itu, terdapat pula panggung terbuka yang mendunia. Desain panggung yang indah dan melukiskan kealamian sempat menjadi viral beberapa pengguna media sosial, mereka berlomba untuk menyebutkan siapa yang pantas tampil di panggung tersebut.





 

Pemandangan di hutan Pinus Imogiri

Siang hari hujan pun turun, kami beristirahat di sebuah warung kecil yang menyediakan makanan ringan dan makanan berat seperti olahan mie instan berbagai merek dan nasi goreng. Menunggu hujan reda kami memesan mie instan dan minuman penghangat tubuh, karena hutan pinus sendiri sudah sejuk ditambah hujan, rasanya menjadi tambah dingin. Cukup lama hujan turun dengan angin yang cukup kencang. Hingga akhirnya pukul 13.00 hujan mulai reda, menyisakan rintik gerimis. Kami bergantian untuk sholat di mushola, musholanya dengan desain kayu membuat sholat semakin khusu, rasanya seperti sedang sholat di alam terbuka.

Sekitar pukul 13.30 kami melanjutkan perjalanan menuju pantai di daerah Gunung Kidul. Mengambil arah sebaliknya dari pemberangkatan, kami terus berjalan lurus dipandu oleh teman sahabatku. Mengandalkan google map dan bertanya pada warga sekitar, kurang lebih 1,5 jam akhirnya kami sampai di objek wisata pantai di Gunung Kidul. Dengan membayar tiket Rp.19.000,- per dua orang kami dapat menikmati 8 pantai yang berbeda, Pantai Baron, Pantai Kukup, Pantai Sepanjang, Pantai Drini, Pantai Krakal, Pantai Sundak, Pantai Pulangsawal, dan Pantai Poktunggal. Sayang hari sudah semakin sore, akhirnya kami memutuskan untuk pergi ke Pantai Kukup yang masih terhubung dengan jajaran pantai lainnya.

Perjalanan menuju Pantai Kukup, kami disuguhi pemandangan tebing dengan bebatuan yang indah dan tentu saja jalanan aspal yang mulus. Tiba di sana, kami hanya perlu membayar uang parkir sebesar Rp 3000,- dan kami dapat bebas menikmati pantai. Selepas sholat ashar, kami berkeliling jalan kaki menuju pantai. Ternyata pantai Kukup layaknya pantai pribadi, sepi, kecil, dan romantis namun pemandangan indahnya tidak perlu diragukan, ditambah wisatawan saat itu tidak terlalu ramai hanya ada 4 sampai 5 rombongan kecil saja termasuk kami. Pasir putih yang lembut, ombak yang tenang, air pantai yang jernih, terumbu karang dan biota laut yang dapat dilihat mata langsung, serta karang-karang yang gagah menambah keelokan Pantai Kukup.



Keindahan Pantai Kukup

Sebenarnya terdapat pula sebuah jembatan dan gardu pandang tidak jauh dari pantai untuk menikmati matahari terbenam. Namun, karena ternyata awan mendung menutupi keindahan matahari terbenam. Akhirnya kami hanya menikmati ketenangan senja yang disuguhi pantai Kukup. Melepas lelah dari perjalanan selama di Yogyakarta dan menenangkan diri serta badan dari penat rutinitas sehari-sehari. Jika kami punya banyak waktu rasanya ingin sekali beberapa hari tinggal di sana, menikmati pantai yang tenang serasa milik pribadi.

Hari mulai gelap, kami segera menunaikan sholat maghrib dan lekas untuk pulang. Selama perjalanan kami harus terus berhati-hati karena daerah yang kami lewati tak jarang ada monyet yang menyebrang atau diam di tengah jalan. Satu jam dari Pantai Kukup kami menyusuri jalan menuju Wonosari, tepatnya terletak di kawasan Patuk perbatasan Gunung Kidul dan Bantul kami berhenti sejenak menikmati bukit bintang atau dikenal pula sebagai Bukit Gembel. Kami berhadapan langsung dengan tebing yang telah dibangun kursi beton yang bisa dijadikan tempat duduk. Sembari menikmati angin malam, kami dapat melihat keindahan kota Yogyakarta yang dipenuhi kerlip lampu tanpa terhalang apa pun. Di sana terdapat beberapa restoran yang menyuguhkan makan malam romantis atau sekedar memakan jagung yang dapat dibeli dari pedagang di pinggir jalan. Namun, kami tidak memilih keduanya karena ada satu tempat lagi yang ingin kunjungi sebelum berakhirnya hari, yaitu angkringan.

Pemandangan Bukit Bintang Yogyakarta (Sumber: Google)

Angkringan sudah menjadi khas Yogyakarta, tempat makan tradisional yang biasanya terdapat di pinggir jalan dengan sebuah pikulan. Angkringan yang berarti duduk santai, identik dengan Nasi Kucing atau nasi ditambah sambal teri atau oseng yang dibungkus daun pisang dengan porsi kecil. Selain nasi kucing yang menjadi ciri khas angkringan adalah gorengan, sate usus, sate telur puyuh, tempe dan tahu bacem. Minuman pun beragam mulai dari teh, jeruk, kopi, tape, wedang jahe, dan susu. Setelah menyusuri jalan pulang akhirnya kami menemukan sebuah angkringan yang sudah terbilang modern. Sebuah kafe dengan interior tradisional dan tetap menyajikan makanan dalam pikulan. Menunya tetap khas angkringan dan harganya mulai dari Rp.500,- hingga Rp 5000,- untuk setiap menu. Setelah kenyang mengisi perut, tepat pukul 22:00 WIB kami sampai di kos-an dan mengakhiri petualangan nekat hari kedua.

Beragam menu di Cafe Angkringan (Sumber: Google)

Esoknya selapas sholat shubuh karena lelah kami terbangun pukul 09.00 WIB dan bergegas untuk pulang kembali ke Tasikmalaya. Dengan jadwal pemberangkatan pukul 14.00 WIB, diantar oleh sahabatku dan temannya, aku dan temanku selama 2 jam menyempatkan terlebih dahulu untuk berbelanja di pasar Malioboro dan Pasar Beringharjo. Tepat pukul 13.00 kami sampai di stasiun menunaikan ibadah sholah dzuhur terlebih dahulu lalu check-in tiket. Hingga akhirnya sampai di Tasikmalaya pukul 19.40 dan mengakhiri petualangan nekat kami di Yogyakarta.





0 komentar:

Posting Komentar

 
Jurnalis Muda © DKP (Mala) - 2018