Pages

Banner 468 x 60px

 

Sabtu, 21 April 2018

Perempuan Bebas Memilih

0 komentar
“Tahukah engkau semboyanku? “Aku mau!” Dua patah kata yang ringkas itu sudah beberapa kali mendukung membawa aku melintasi gunung keberatan dan kesusahan. Kata “Aku tiada dapat!” melenyapkan rasa berani. Kalimat “Aku mau!” membuat kita mudah mendaki puncak gunung.” (Raden Ajeng Kartini, Habis Gelap Terbitlah Terang)

Melalui perjuangan di masa lampau dan tulisan dalam surat-suratnya Kartini menyuntikan semangat untuk perempuan merealisasikan potensinya. Perjuangan Kartini dijadikan sebagai pijakan tentang bagaimana seharusnya seorang perempuan berperan dalam kehidupannya. Tidak lagi dikekang oleh budaya patriarki yang diagungkan oleh orang-orang zaman dulu.

Menilik dari masa lalu, perempuan selalu diberi stigma sumur, dapur, dan kasur hingga tidak ada sedikit pun kesempatan bagi perempuan untuk mengenyam pendidikan. Atas dasar itulah Kartini merasa dirinya harus membawa kaumnya dari belenggu adar istiadat yang membelenggu dan mengawali perjuangannya dengan membuka sekolah untuk anak perempuan di kota kelahirannya Jepara. Ia berpendapat bahwa melalui pengetahuan akan membawa perempuan keluar dari kegelapan yang mengekang.

Kini setelah 114 tahun kepergian Kartini sudahkah cita-citanya tercapai? Sudahkah perempuan Indonesia menjadi sosok Kartini masa kini? Saat ini makin banyak kaum perempuan yang berkiprah di dunia kerja, hidup sejajar bersama kaum pria. Jika zaman dulu sebagain besar permasalahan mengenai derajat perempuan, kini permasalahan yang dihadapi perempuan dengan pendidikan tinggi semakin kompleks. Konfliks yang terjadi adalah apakah ingin menjadi perempuan yang berkarir di luar rumah atau memilih menjadi ibu rumah tangga?

Perempuan memang diharuskan menjadi ibu rumah tangga tetapi saat ini banyak para ibu rumah tangga yang juga turut bekerja membantu para suami dalam memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga. Mulai dari pekerjaan yang memang banyak digeluti kaum perempuan seperti salon, menjahit, catering, bidan, guru, sekretaris, dan lain-lain yang dianggap sebagai keahlian perempuan. Namun saat ini sudah banyak pula perempuan yang mulai menggeluti pekerjaan yang dianggap seharusnya dilakukan oleh pria seperti halnya memimpin sebuah perusahaan atau malah menjadi pemimpin di pemerintahan. Semua itu bukan semata-mata perempuan lakukan untuk menolak kondrat sebagai perempuan, namun bisa jadi hal itulah yang memang menjadi keahliannya serta sesuai dengan kemampuan mereka.

Tantangan seorang perempuan yang berkarir di luar rumah cukup berat. Pandangan orang-orang terutama pada pekerjaan yang dinilai masyarakat bukan termasuk ke dalam pekerjaan yang cocok untuk seorang perempuan, membuat semakin sulit meraih kesempatan untuk mengembangkan diri. Bahkan ketika seorang perempuan menampilkan kemampuannya untuk memimpin suatu pekerjaan terkadang ia tidak disukai, dijuliki kasar dan dinilai bossy.

“Saya tidak bossy, saya memang bos” Beyonce dalam sebuah video mendukung kampanye #banbossy. Kampanye tersebut menyoroti bagaimana ketika anak laki-laki memegang kendali dan mereka sering dipuji sebagai seorang pemimpin. Namun, ketika anak perempuan yang berperan, mereka cenderung ditatap sinis dan dicaci dengan tudingan “terlalu bossy”.

Sebuah penilitian yang dilansir dari bbc.com mencoba sebuah eksperimen mengenai manajer kredit bank yang merupakan 50/50 laki-laki dan perempuan. Penelitian dilakukan untuk mengetahui sikap klien saat pembayaran peminjaman, tepatnya ketika klien dipasangkan dengan manajer pria dan wanita. Ternyata ditemukan bahwa, jika manajer kredit adalah seorang perempuan maka klien cenderung akan lebih sering meluputkan pembayaran pinjaman mereka, berbeda jika dibandingkan ketika klien dihubungkan dengan manajer kredit seorang laki-laki mereka akan sedikit lebih patuh terhadap arahan.

Hal tersebut menandakan masih adanya streotip masyarakat bahwa perempuan itu lemah dan laki-laki dapat dengan mudah menekan kelemahan tersebut. Masyarakat masih belum bisa menghormati suatu profesi seseorang tanpa melihat jenis kelamin orang tersebut, meski sebenarnya pekerjaan apapun dapat dilakukan oleh semua orang asalkan halal dan tidak merugikan orang lain. Bila seorang perempuan mampu bekerja serta mampu melakukan kewajibannya sebagai seorang ibu maka tentu hal tersebut seharusnya bukan menjadi sebuah permasalahan lagi. Terlebih seorang perempuan setidaknya harus memiliki keterampilan yang dapat menghasilkan, tidak bisa menggantungkan segalanya pada suami. Jika suatu saat suami meninggal dunia dan meninggalkan seorang istri yang tidak memiliki keterampilan selain menjadi ibu rumah tangga, bagaimana caranya perempuan akan bertahan menghadapi perkembangan dunia yang semakin sulit?

Masyarakat sendiri masih tidak adil dan cenderung menyalahkan kaum perempuan jika terjadi kegagalan dalam mendidik anak dalam rumah tangga, padahal keputusan untuk memiliki anak adalah keputusan kedua belah pihak. Seperti halnya kutipan buku Sarinah “Laki-laki dan perempuan adalah sebagai dua sayapnya seekor burung. Jika dua sayap sama-sama kuatnya, maka terbanglah burung itu sampai ke puncak yang setinggi-tingginya, jika patah satu dari dua sayap itu, maka tak dapatlah terbang burung itu sama sekali.” (Sarinah, hlm 17/18 Bung Karno)

Perempuan bebas memilih karena saat ini kaum perempuan telah memilki banyak kesempatan untuk merah cita-citanya. Sebuah keberanianlah yang kini dibutuhkan perempuan untuk meraih peluang tersebut. Jika tanpa bukti nyata dan kerja keras perempuan tidak bisa menuntut bahwa tidak diberi kesempatan. Inilah kesempatan kaum perempuan untuk membuktikan kiprah nyatanya, dengan menjadi kaum perempuan yang kuat, berani, dan tegar.

Kini saatnya bagi kaum perempuan di era modern untuk menjadi kartini masa kini. Sosok perempuan yang memiliki segudang prestasi yang membanggakan untuk dapat ditularkan kepada kaum-kaum muda. Semangat untuk membantu dan berbuat baik pada orang lain, semangat untuk berprestasi di segala bidang dan semangat menjadi seorang ibu yang mampu mendidik anak-anaknya menjadi kebanggaan bangsa.

Pengstreotipan harus segera dihentikan bukan hanya merugikan perempuan namun berdampak pula pada laki-laki. Streotip negatif akan melekat pada laki-laki yang dianggap sebagai bidang profesi perempuan. Padahal saat ini idealnya adalah kita hidup di zaman ketika kita menjalankan pekerjaan yang paling sesuai dengan kemampuan kita serta mendapat respek yang sama terlepas dari jenis kelaminnya. Jika kita dapat mendukung laki-laki dan perempuan yang bekerja dalam peran apapu, kecil kemungkinan terjadinya peristiwa meremehkan profesi tertentu yang berdasarkan streotip gender yang kuno. Sehingga kita dapat hidup untuk saling menghormati satu sama lain.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Jurnalis Muda © DKP (Mala) - 2018