Pages

Banner 468 x 60px

 

Rabu, 10 Januari 2018

Eksistensi Perempuan di Parlemen

0 komentar
Pada dasarnya pembangunan yang dilaksanakan oleh bangsa Indonesia ditujukan untuk meningkatkan harkat dan martabat manusia Indonesia seutuhnya, tanpa membedakan suku bangsa, agama, dan jenis kelamin. Sementara Pancasila dan UUD 1945 sebagai falsafah dan dasar negara yang menjadi pondasi awal untuk menempatkan perempuan pada keluhuran harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan yang Maha Esa untuk memberikan hak dan peluang yang sama bagi perempuan dan laki laki untuk berperan dalam pengelolaan negara, pemerintahan, dan pembangunan baik di pusat maupun di daerah.

Prinsip persamaan kedudukan dan perlakuan yang adil antara laki-laki dan perempuan tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 yang menjamin kesetaraan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan. Di dalam UUD 1945 Pasal 28 I (2) menyatakan bahwa, “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Hal ini berarti bahwa secara filosofis, Indonesia menjamin dan melindungi tiap warga negaranya dari sikap atau tindakan diskriminatif tanpa membeda-bedakan status sosial, ras, suku, budaya, agama, maupun jenis kelamin. Pada UUD 1945 Pasal 27 juga menyatakan bahwa perempuan mempunyai kedudukan yang sama dengan laki-laki dalam bidang hukum dan pemerintahan.

Dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003 diamanatkan untuk memberi peluang dan perlakuan yang sama dalam pekerjaan. Setiap tenaga kerja memiliki peluang yang sama tanpa diskriminasi untuk memperoleh pekerjaan (Pasal 5). Ini berarti baik laki-laki maupun perempuan memiliki peluang yang sama dalam pekerjaan.

Di Indonesia sejak reformasi, partisipasi politik perempuan khususnya keterwakilan perempuan dalam pengambilan keputusan menjadi agenda penting pemerintah. Partisipasi perempuan dalam politik sangatlah penting, karena keberadaan mereka dapat meningkatkan kesejahteraan kelompok perempuan dengan mewakili, mengawal, dan mempengaruhi agenda dan proses kebijakan, dan turut serta dalam proses pembangunan.

Sejak konsep gender berkembang, tidak dapat dipungkiri lagi peran perempuan dalam pembangunan telah mengalami pembaharuan. Di bidang pendidikan misalnya, perempuan telah mengalami peningkatan akses pendidikan yang setara dengan laki-laki. Posisi-posisi penting baik di pemerintahan maupun non pemerintahan cukup banyak dijalankan oleh perempuan. Dalam bidang politik, yang sering kali disebut sebagai dunia laki-laki, aspirasi perempuan juga telah mendapat tempat walaupun belum semua aspek terwakili.

Berbagai bentuk perjuangan politik telah digeluti kaum perempuan, seperti parlemen, kabinet, partai politik, LSM, dan sebagainya. Mereka juga berpikir bahwa perempuan juga mempunyai kemampuan yang sama dengan laki-laki, yang juga bisa digunakan untuk mempolitisir dan mengontrol kaum laki-laki, bisa memberikan suara yang terbanyak, serta bisa dimanfaatkan demi kepentingan tertentu. Sudah banyak perempuan yang terlibat langsung dalam partai politik misalnya sebagai pengurus partai, pengambil keputusan, dan sebagai calon anggota legislatif. Perbincangan tentang perempuan politik Indonesia setidaknya bersentuhan dengan upaya untuk memajukan demokrasi, setiap penghuni negeri ini memiliki hak yang sama satu dengan yang lainnya, tidak terkecuali perempuan untuk masuk dalam wilayah politik. Selama ini, perempuan dalam bingkai politik belum sampai pada tingkat maksimal.

Secara historis keterlibatan kaum perempuan di ranah politik di Indonesia memiliki akar yang panjang, namun secara realitas justru mmperlihatkan hal yang tidak cukup menggembirakan. Keterlibatan kaum perempuan di dunia politik, khususnya dalam sektor kelembagaan formal (DPR/DPRD), masih jauh dari yang diharapkan. Kalau dilihat dari segi perbandingan antara jumlah populasi perempuan Indonesia yang diperkirakan mencapai separuh dari jumlah penduduk, dengan mereka yang terlibat dalam politik. Hal itu terjadi karena masih kuatnya budaya patriarki yang dianut oleh masyarakat yang memandang perempuan sebagai makhluk yang lemah sehingga tidak pantas masuk dalam dunia politik yang begitu keras.

Negara yang menganut sistem patriarki, laki-laki selalu mendominasi perempuan dan perempuan selalu dipandang orang kedua setelah laki-laki. Hal inilah yang membuat terjadinya pembagian kerja terhadap perempuan, karena laki-lakilah yang selalu mengambil keputusan, baik dalam keluarga, maupun di tempat kerja. Dengan budaya patriarki seperti ini telah membuat kesempatan perempuan terbatasi. Hal tersebut dapat kita lihat dalam perpolitikan di Indonesia saat ini, bahwa telah banyak perempuan yang turut berpartisipasi dalam politik, namun hasilnya tidak begitu memuaskan. Hal tersebut dipengaruhi oleh beberapa faktor. Faktor pertama berhubungan dengan konteks budaya di Indonesia yang masih sangat kental asas patriarkinya. Faktor kedua berhubungan dengan proses seleksi dalam partai politik. Ketiga, berhubungan dengan media yang berperan penting dalam membangun opini public mengenai pentingnya representasi perempuan dalam parlemen. Keempat, tidak adanya jaringan antara organisasi massa, LSM, dan partai-partai politik untuk memperjuangkan representasi perempuan.

Perempuan yang selalu diposisikan pada peran domestik dan reproduksi yang sangat menghambat kemajuan mereka menggeluti dunia politik. Hal tersebut merupakan rekayasa kultur dan tradisi yang menciptakan pelabelan atau streotipe tertentu pada perempuan yang telah mengakar kuat dalam masyarakat. Keterlibatan perempuan dalam dunia politik di Indonesia dan negara-negara berkembang pada umumnya bisa dikatakan terlambat. Hal itu karena stigma tadi bahwa perempuan identik dengan sektor domestik sehingga masih sangat sedikit perempuan yang turut andil dalam dunia politik. Semenatara dunia politik itu sendiri masih dianggap lekat dengan dunia yang keras, penuh persaingan, membutuhan rasionalitas dan bukan emosi. Persepsi yang melekat pada perempuan adalah peran sebagai wilayah kedua setelah laki-laki. Secara jelas memiliki jalur yang judgement, dengan tendensi orang kelas dua yang seharusnya di rumah dan bertabur dengan konsumerisme, hedonisme, dalam cengkraman kapitalisme.

Anggapan perempuan sebagai makhluk lemah memberikan asupan pemikiran bahwa perempuan tidak sepatutnya bergelut dengan dunia politik yang penuh dengan kekerasan dan dialektika kekuasaan. Perempuan dinilai tidak mampu memimpin dan membuat kebijakan tegas karena patron yang telah membentuk perempuan sebagai makhluk perasaan, artinya perempuan tidak dapat memberikan keputusan ketika menggunakan sisi perasaan dalam menilai sebuah keputusan. Banyak pengamat-pengamat politik yang menanggapi peran perempuan dalam politik, mereka mengatakan bahwa peran perempuan Indonesia dalam bidang ekonomi dan lainnya lebih maju dibandingkan negara lain. Tetapi, perempuan Indonesia masih terjebak pada budaya politik yang berjuang di akar rumput dengan mereka yang berjuang di arena politik (partai politik dan parlemen).

Tapi, perempuan Indonesia masih berada dalam budaya politik yang tidak memungkinkannya berperan penuh di dalam kehidupan politik. Gerak perempuan yang berkecimpung di dalam dunia politik sudah dibatasi dan dipolakan. Namun banyak perempuan yang terjun ke dunia politik tidak menyadari hal tersebut.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Jurnalis Muda © DKP (Mala) - 2018